Senin, 07 Januari 2008

VISI-MISI DAN NILAI-NILAI YANG MENDASARI

VISI
Kolese De Britto sebagai komunitas pendidikan berjuang untuk membantu proses pembentukan pribadi siswa menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang kompeten, berhati nurani benar, dan berkepedulian pada sesama demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

MISI
Dilandasi semangat kristiani dan spiritualitas Ignasian, komunitas Kolese De Britto bertekad untuk
1. membentuk siswa menjadi pemimpin yang humanis, melayani, berani berjuang bagi sesama, dan berwawasan kebangsaan, serta menghayati nilai-nilai luhur bangsa Indonesia;
2. membantu siswa menjadi pribadi yang berkembang secara utuh, optimal, dan seimbang;
3. mengembangkan siswa menjadi pribadi yang jujur, disiplin, mandiri, kreatif, dan mau bekerja keras. Selengkapnya...

NILAI-NILAI YANG MENDASARI

1. KASIH
Nilai kristiani yang paling mendasar adalah kasih. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh.15:12), dan St. Ignatius menegaskan bahwa kasih itu harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dengan kata-kata (LR 230). Atas dasar kasih itulah pendidikan Kolese De Britto membentuk para siswanya menjadi manusia yang sedia untuk melayani dan berjuang bagi sesamanya demi kebenaran dan keadilan.

2. KEBEBASAN
Pendidikan Kolese De Britto sangat menekankan nilai kebebasan yang merupakan perwujudan konkret dari kebebasan anak-anak Allah (Rom.8:21). Para siswa dididik dalam suasana kebebasan menjadi manusia yang bebas, yaitu yang mampu mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya yang benar, tidak terbelenggu oleh gengsi, materi, atau kecenderungan untuk ikut-ikutan saja. Manusia yang bebas adalah manusia yang mandiri dan bertanggung-jawab atas pilihan dan tindakannya.

3. KETERBUKAAN DAN KEANEKARAGAMAN
Pendidikan Kolese De Britto dilaksanakan dalam suatu komunitas yang terdiri dari beraneka ragam suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Dalam komunitas inilah para siswa dibantu untuk berkembang menjadi manusia dewasa yang terbuka terhadap dan menghargai keanekaragaman sebagai bagian dari persiapannya untuk kelak menjadi pemimpin yang melayani dalam masyarakat. Selengkapnya...

TUJUAN PENDIDIKAN

Berpijak pada visi dan misi yang telah dirumuskan, pendidikan di Kolese De Britto bertujuan membantu proses pembentukan siswa menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang meneladan Yesus Kristus dengan kepribadian yang utuh, optimal dan seimbang, jujur, disiplin, mandiri, kreatif, mau bekerja keras, humanis, selalu sedia melayani, dan berani berjuang bagi sesama. Selengkapnya...

IDENTITAS KOLESE

Untuk mencapai tujuan, Kolese De Britto melaksanakan apa yang digariskan dalam dokumen “Ciri﷓Ciri Khas Pendidikan pada Lembaga Pendidikan Yesuit” dan menegaskan identitas kolese sebagai berikut :

1. Kolese De Britto Merupakan Wadah dan Wahana Katolik
Kolese dengan tegas dan jelas mewartakan Yesus sebagai junjungan bagi siswa katolik dan sebagai model kehidupan insani serta saksi kesempurnaan bagi siswa bukan katolik. Ciri tersebut ditampakkan dalam pendidikan religiusitas, pengungkapan iman dalam ibadat, doa bersama dan pelayanan, serta dalam mendidik siswa berdoa secara pribadi dan berefleksi. Dengan demikian, pendidikan religiusitas yang bermutu merupakan komponen penting dalam pendidikan.
Di Kolese De Britto siswa belajar untuk menghargai hal﷓hal duniawi secara wajar, tetapi sekaligus siswa didorong untuk mampu menggarami dan menghayati seluruh kegiatan sekolah / dunia dalam dimensi religius. Kolese mengembangkan integrasi iman dengan kebudayaan dan hidup serta mengembangkan dialog antarumat beragama. Kolese memberikan pelayanan pastoral yang memadai.
Karena Kolese merupakan sarana apostolik untuk melayani gereja dan masyarakat, siswa dibina untuk membentuk diri menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang meneladan Yesus Kristus. Hal itu diwujudkan dengan menjadikan Kolese sebagai wahana pembinaan untuk pelayanan dengan program﷓program pembinaan kepemimpinan. Kolese mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam gereja dan masyarakat setempat demi pelayanan terhadap sesama.
Kolese memperkenalkan latihan rohani sebagai pedoman kehidupan siswa. Kolese juga bekerja sama dengan kelompok-kelompok pengembangan iman gerejani bagi siswa﷓siswa yang ingin mengembangkan iman secara lebih intensif.

2. Kolese De Britto Merupakan Pusat Belajar
Pendidikan dilaksanakan demi siswa dan berorientasi kepada siswa. Dengan demikian, Kolese memberikan pendidikan yang secara manusiawi relevan bagi siswa, baik untuk hidupnya sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu, setiap kegiatan menghindari hal﷓hal yang tidak berguna yang hanya membebani siswa tanpa ada manfaatnya.
Kolese menerapkan Paradigma Pedagogi Ignasian dalam mendidik siswa untuk mengembangkan belajar mandiri sehingga siswa mampu mencari dan mencerna informasi yang diperlukan dan membiasakan diri untuk proses belajar seumur hidup (ongoing formation). Melalui belajar mandiri tersebut pengetahuan siswa diusahakan sedemikian mendalam sehingga siswa mampu menangkap implikasi sosial, budaya, moral, dan religius yang dipelajari. Dengan demikian, mereka tergerak untuk bersikap dan bertindak sebagai pemimpin yang melayani sesuai dengan kemampuan dan lingkupnya. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dalam dinamika Latihan Rohani, yaitu konteks - pengalaman ﷓ refleksi ﷓ aksi ﷓ evaluasi. 1 dengan selalu mengikuti perkembangan ilmu pendidikan.
Kolese mengusahakan pengembangan penerimaan diri dan pengetahuan yang realistis mengenai dunia sebagai persiapan partisipasi aktif dalam hidup.

3. Kolese De Britto Merupakan Wadah dan Wahana Pembinaan Kepribadian
Kolese mengembangkan keunggulan intelektual siswa yang harus disertai dengan pengembangan keunggulan kepribadian, tetapi tanpa harus merasa mengungguli orang lain. Kolese mengusahakan pembentukan pribadi yang jujur, disiplin, mandiri, kreatif, dan mau bekerja keras, afektif dan imaginatif, kemampuan fisik dan kesehatan, serta sikap sportif. Semua itu disertai dengan sikap pelayanan bagi sesama yang tumbuh dari kasih. Oleh karena itu, Kolese memberikan “pembinaan pribadi secara perorangan” (cura personalis), khususnya dengan memberikan bimbingan pribadi serta konsultasi bagi pertumbuhan siswa yang integral. Melalui dan dalam berbagai kegiatan sekolah, baik akademik maupun non﷓akademik, siswa belajar berefleksi dengan maksud agar dapat membentuk nilai﷓nilai, hati nurani dan sikap yang benar, serta mengubah sikap yang kurang benar dalam dirinya sehingga siswa mampu memberikan skala prioritas yang benar dan bijaksana dalam mengambil keputusan.2 Kolese mengusahakan siswa agar dapat berkembang dalam iman dan berbuat adil. Oleh karena itu, pendidikan diarahkan untuk membentuk “manusia bagi sesama”. Dengan bimbingan guru, dalam batas﷓batas wajar dan dengan memperhatikan nilai﷓nilai luhur budaya bangsa, Kolese memberikan kebebasan kepada para siswa. Dengan cara demikian, diharapkan akhirnya para siswa dapat mandiri sebagai pribadi yang utuh.

4. Kolese De Britto Merupakan Keluarga
Kolese adalah karya kerasulan Serikat Jesus. Di dalam Kolese dikembangkan kerja sama erat antara Yesuit dengan awam yang mengambil bagian dalam kerasulan tersebut. Awam mempunyai tanggung jawab dan wewenang yang nyata. Direksi Kolese membantu penyelenggaraan pelatihan profesional dan formasi kontinyu bagi guru dan karyawan serta mengusahakan pengembangan visi Ignasian. Kolese mengembangkan komunitas yang akrab, loyal, dan hubungan kerja sama yang sejuk di antara direksi, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan alumni. Hubungan tersebut diusahakan sebaik mungkin sehingga tercipta suasana yang memungkinkan perkembangan kreativitas, sikap kritis, dan mandiri.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi para anaknya.3 Demi terlaksananya pendidikan yang lebih sempurna, kerja sama antara orang tua dan sekolah mutlak diperlukan. Sekolah dan orang tua perlu mengembangkan sikap saling berbagi pandangan dan visi.
Hubungan antara Kolese dan siswa tidak berhenti dengan lulusnya siswa, melainkan diharapkan dapat berlangsung terus dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Kolese dengan para alumninya.

5. Kolese De Britto Peduli kepada Siswa yang Kurang Mampu
Sesuai dengan kemampuan finansial, Kolese secara proaktif memberikan perhatian kepada siswa yang kurang mampu, tetapi memiliki kemampuan intelektual yang cukup dan potensi-potensi lain yang dapat berkembang secara optimal. Selengkapnya...

PROFIL SISWA

Sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan, pendampingan pribadi siswa diarahkan kepada profil siswa berikut ini.

1. Penghayatan Iman yang Terintegrasi dalam Kehidupan
Karena yakin bahwa perkembangan pribadi siswa merupakan pujian kepada Allah dan karena percaya bahwa menggunakan kemampuan dan anugerah demi pelayanan adalah pengabdian kepada Allah, pendidikan perlu didasari iman dan religiusitas. Melalui Pedagogi Ignasian siswa diajak untuk mengintegrasikan iman dalam semua segi kehidupan. Secara nyata siswa diajak untuk mengamalkan iman dalam mengejar prestasi belajar, dalam mengembangkan diri, dan dalam mempersiapkan masa depan serta karier. Dimensi religius ini juga perlu diungkapkan secara bersama-sama dalam perayaan-perayaan iman di sekolah.

2. Pejuang untuk Sesama
Dilihat dari pandangan orang beriman, melayani sesama dan berjuang untuk sesama merupakan wujud pelayanan kepada Allah. Kolese De Britto menjadikan siswa semakin memiliki motivasi kuat untuk menggunakan segala bakat dan anugerah untuk melayani sesama, serta mengembangkan kepemimpinan untuk berjuang bagi sesama demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan.

3. Mandiri
Mandiri merupakan kata lain untuk kebebasan anak-anak Allah : Pribadi yang dengan kemauannya sendiri mengikuti panggilan atau tujuan hidup seperti yang ditanamkan dalam hati oleh Allah; memiliki pandangan yang dihayati dalam hati nurani tanpa mengabaikan saran dan nasihat; mampu mengambil keputusan sendiri yang bebas dari pengaruh yang berlebihan dari orang lain; mampu bertindak sesuai dengan nilai baik yang dihayati dalam lubuk hati, jika perlu melawan arus.
Siswa mandiri adalah siswa yang bebas dari pengaruh yang menyesatkan, seperti gengsi, kemewahan, ikut-ikutan, semaunya sendiri , mau enak, dan lembek dalam berusaha. Siswa perlu mengembangkan kemampuan untuk belajar mandiri, yaitu mampu mencari dan menyerap informasi yang diperlukan, menguasai pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya secara terus-menerus selama hidup. Siswa yang mandiri adalah siswa yang bertanggung jawab.

4. Kreatif dan Komunikatif
Dilihat dari pandangan orang beriman, pribadi yang kreatif adalah pribadi yang mau unggul dalam memuji dan mengabdi Allah, yaitu unggul dalam mengembangkan diri dan dalam mengabdi sesama. Kreatif berarti mau berkembang terus-menerus secara optimal sesuai dengan bakat dan rahmat yang diterimanya demi kepentingan bersama.
Kolese De Britto mengusahakan agar siswa menjadi semakin dewasa, mampu menghargai keanekaragaman, dan semakin berkembang kreativitasnya, yaitu siswa semakin mampu menemukan jalan﷓jalan baru yang inovatif dan secara efektif semakin mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Siswa kreatif adalah siswa yang tidak pernah berhenti berkembang, selalu mencari yang lebih baik, dan mampu menyampaikan ide-idenya secara komunikatif dan meyakinkan.



5. Optimal dan Seimbang
Perkembangan pribadi siswa secara optimal dan seimbang sesuai dengan bakat﷓bakatnya dalam bidang intelektual, rasa dan kreasi seni, kebersamaan dan rasa sosial, keterampilan, dan kebugaran jasmani merupakan cita-cita Kolese De Britto.
Secara nyata Kolese De Britto mengembangkan pribadi siswa agar memiliki keunggulan akademis sehingga mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak siswa dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat luas sesuai dengan profesinya. Siswa didampingi untuk meraih keunggulan sesuai dengan bakat﷓bakatnya demi kebaikan sesama, tanpa mengunggulkan diri atau merasa harus mengungguli orang lain (semangat magis).

6. Disiplin, Kerja Keras, dan Berusaha Gigih
Allah telah menganugerahkan bakat dan kesempatan kepada setiap orang. Sikap berdisiplin bekerja keras, dan berusaha gigih merupakan ungkapan seorang siswa yang bersyukur kepada Allah.
Kolese De Britto mendorong siswa mewujudkan sikap-sikap tersebut dalam tindakan nyata. Di satu sisi, siswa diajak untuk menggunakan sarana yang tepat dan dengan tekun serta efektif mengembangkan dan menggunakan bakat maupun kesempatan untuk melayani sesama. Di sisi lain, siswa diarahkan untuk tidak menyia-nyiakan anugerah berupa waktu, tenaga, uang, dan tidak membiarkan kesempatan yang berharga terbuang untuk hal-hal yang tidak pada tempatnya. Selengkapnya...

Dinamika Paradigma Pedagogi Ignasian

Dalam proses pengajaran, dinamika paradigma ini mecakup lima langkah pokok, yaitu: konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi.

KONTEKS
Proses pendidikan tidak pernah bergerak dari ruang hampa. Oleh karena itu, pengalaman manusiawi harus menjadi titik tolaknya. Pemahaman konteks merupakan bentuk kongkrit perhatian dan kepedulian terhadap siswa. Perhatian dan kepedulian ini merupakan dua hal pokok sebagai awal untuk melangkah.
“Apa yang harus diketahui para guru agar siswa-siswanya dapat belajar dengan baik ?” Pertanyaan seperti itu kiranya tepat mengenai inti pengertian konteks dalam pedagogi ini. Tentu saja pertanyaan itu menyangkut di luar pemahaman materi ajar. Pertanyaan tersebut menyangkut pengetahuan guru mengenai karakter siswa dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Beberapa konteks yang perlu dipertimbangkan oleh guru :
· Konteks kehidupan siswa yang yang meliputi cara hidup keluarga, teman-teman, kelompok sebaya, keadaan sosial-ekonomi, kesenangan, atau yang lain yang berdampak menguntungkan atau merugikan siswa.
· Konteks sosio-ekonomi, politik, kebudayaan, kebiasaan kaum muda, agama, media massa, dan lain-lain merupakan lingkungan hidup siswa yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa dalam hubungannya dengan orang lain.
· Situasi sekolah tempat proses belajar mengajar terjadi. Keberhasilan proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh situasi sekolah yang bersifat kondusif. Sekolah seharusnya merupakan tempat orang dipercaya, diperhatikan, dihargai, dan diperlakukan secara jujur dan adil.
· Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar. Pengertian dan pemahaman yang mereka peroleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka merupakan konteks belajar yang harus diperhatikan.
Pemahaman konteks itu sangat membantu para guru dalam menciptakan hubungan yang dicirikan oleh autentisitas dan kebenaran. Kalau suasana saling mempercayai dan saling menghargai terjadi, siswa akan mengalami bahwa orang lain merupakan teman sejati dalam proses belajar. Dalam suasana seperti itulah proses belajar akan berjalan lancar sekaligus berkualitas.

PENGALAMAN
Pengalaman berarti “mengenyam sesuatu dalam batin”. Ini mengandaikan adanya fakta dan pengertian-pengertian. Ini juga menuntut seseorang menduga kejadian-kejadian, menganalisis, dan menilai ide-ide. Hanya dengan pemahaman yang tepat terhadap apa yang dipertimbangkan, orang dapat maju sampai menghargai arti pengalaman. Pemahaman tidak hanya terbatas pada aspek intelektual, tetapi mencakup keseluruhan pribadi, budi, perasaan, dan kemauan masuk ke pengalaman belajar. Dalam pengalaman itu tercakup ranah kognitif dan afektif sekaligus. Kegiatan belajar yang hanya menekankan pemahaman intelektual, tanpa disertai dengan perasaan batin, tidak akan mendorong orang untuk bertindak. Oleh karena itu, istilah pengalaman dipakai untuk mencirikan setiap kegiatan yang di dalamnya tercakup pemahaman kognitif dan afektif sekaligus dari materi yang dipelajari.
Pengalaman dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Pengalaman kognitif saja kurang dapat menimbulkan rasa belas kasih secara optimal. Lain halnya dengan pengalaman langsung karena di dalamnya orang mengalami keterlibatan secara keseluruhan, yaitu pikiran dan perasaan. Pengalaman langsung dalam proses belajar mengajar dapat terjadi melalui percobaan, diskusi, penelitian, proyek pelayanan, dan sebagainya. Sementara itu, pengalaman tidak langsung dapat terjadi melalui membaca dan mendengarkan. Agar proses belajar menjadi efektif, perlulah adanya usaha menciptakan pengalaman langsung tersebut. Usaha itu misalnya dapat ditempuh melalui role playing, pemakaian audio visual, dan sebagainya.

REFLEKSI
Refleksi merupakan suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap pengalaman belajar, antara lain materi pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan menangkap maknanya secara lebih mendalam.
Dalam refleksi diusahakan siswa menangkap nilai yang dipelajari. Untuk mencapai hal itu, dapat dilakukan hal-hal berikut.
· Memahami hal yang dipelajari secara lebih baik dan mendalam, dengan pertanyaan misalnya:“Apakah yang disajikan dalam buku cukup sahih atau jujur ?”
· Mengerti sumber-sumber perasaan dan reaksi yang dialami siswa dalam renungan ini, misalnya: “Apakah yang paling menarik dari cerpen yang saya baca ini ?”, “Mengapa saya merasa iba terhadap tokoh yang satu ini dan merasa benci terhadap tokoh yang lain ?”
· Mendalami implikasi bagi diri sendiri, bagi orang lain, atau bagi masyarakat, misalnya: ”Apa gunanya hal ini bagi diri saya, bagi keluarga, tetangga, atau masyarakat pada umumnya ?”
· Mendapatkan pengertian pribadi tentang kejadian-kejadian, ide-ide, kebenaran, atau pemutarbalikan kebenaran, dan sebagainya, misalnya: “Apakah cara hidup saya sesuai dengan kepentingan yang lain ?”, “Apakah saya sanggup memikirkan kembali apa yang sebetulnya saya butuhkan untuk hidup bahagia ?”
· Memulai lebih mengerti atau memahami diri sendiri, misalnya: “Refleksi ini menimbulkan perasaan apa dalam diri saya ?”
Siswa diberi kebebasan untuk berefleksi. Ada kemungkinan siswa yang telah berefleksi tidak menunjukkan perubahan ke arah perkembangan. Hal ini bisa terjadi karena siswa baru dalam taraf perkembangan untuk menjadi lebih dewasa. Akan tetapi, yang penting guru sudah menanamkan “benih” kehidupan ke dalam diri siswa dan benih itu pasti akan tumbuh pada saatnya.

AKSI
Paradigma Pedagogi Ignasian tidak hanya berhenti pada refleksi, tetapi justru dari refleksi itu diharapkan siswa terdorong untuk mengambil keputusan atau komitmen dan kemudian melaksanakannya. Refleksi akan menjadi mentah kalau hanya menghasilkan pemahaman dan reaksi-reaksi afektif. Refleksi yang bermula dari pengalaman harus berakhir pada realitas pengalaman yang baru dalam wujud pengambilan sikap atau tindakan. Perwujudan pengalaman baru inilah yang disebut aksi.
Dalam istilah aksi ini terkandung pemahaman, keyakinan, dan keputusan untuk melakukan komitmen atau melakukan suatu tindakan. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan berangkat dari keprihatinan atau kesadaran akan pentingnya mengambil tindakan, bukan bertindak sekedar luapan emosi, terhasut atau ikut-ikutan belaka.
Ada dua macam pilihan untuk beraksi. Pertama, pilihan batin, misalnya setelah berefleksi siswa menyadari bahwa Tuhan selalu berkarya dalam hidupnya. Untuk itu dalam segala kebehasilan dan kegagalannya, ia akan kembali kepada Tuhan untuk bersyukur atau memohon kepada-Nya. Kedua, pilihan lahiriah, misalnya setelah berefleksi siswa menyadari bahwa hasil belajarnya tidak baik atau gagal karena cara belajarnya yang tidak pas, maka ia akan mengubah cara belajarnya untuk menghindari kegalalan lagi.

EVALUASI
Evaluasi mencakup dua hal, yaitu menilai kemajuan akademis dan menilai kemajuan pembentukan pribadi siswa secara menyeluruh. Tes, ulangan, atau ujian merupakan alat evaluasi untuk menilai atau mengukur seberapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan keterampilan sudah diperoleh. Evaluasi secara berkala mendorong guru dan siswa untuk lebih memperhatikan pertumbuhan intelektual dan mengetahui kekurangan-kekurangan yang perlu segera ditangani. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam evaluasi ini perhatian tidak hanya tercurah pada kemampuan penyerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari proses pengajaran, tetapi harus mencakup perkembangan secara menyeluruh, yaitu perhatian kepada sejauh mana siswa berkembang sebagai pribadi yang mengarah menjadi manusia bagi orang lain.
Untuk mengetahui perkembangan pribadi, guru dapat melakukannya dengan mengadakan hubungan dialogal, angket, atau melalui pengamatan terhadap perilaku para siswa. Dalam evaluasi ini guru perlu memperhatikan umur, bakat, kemampuan, dan tingkat kedewasaan setiap siswa. Selengkapnya...

TATA TERTIB SISWA

Untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal diperlukan suasana yang mendukung proses belajar mengajar maupun pembinaan pribadi. Dalam kehidupan bersama, suasana ini dapat terbentuk dengan adanya aturan hidup bersama yang disebut tata tertib. Pelaksanaan penegakan tata tertib atau kedisiplinan dikoordinasikan oleh pamong, yang dalam pelaksanaannya sehari-hari ditangani secara langsung oleh subpamong dan guru piket, serta didukung seluruh anggota komunitas.

1. Tujuan Tata Tertib
Menaati tata tertib bukanlah tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai cita-cita. Oleh karena itu, tata tertib bukan dimaksudkan untuk membelenggu kebebasan para siswa, melainkan sebagai pedoman bersama dalam usaha menjadi manusia dewasa yang baik, kritis, dan bertanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, lingkungan dan masyarakat. Dalam memandang tata tertib hendaklah tidak sekadar terpancang pada rumusan harfiah, tetapi mendalami dan menghayati jiwa dari rumusan tersebut. Sebagai sarana, tata tertib bertujuan memperjuangkan tercapainya tujuan pendidikan SMA Kolese De Britto, yaitu membantu proses pembentukan siswa menjadi pemimpin-pemimpin pelayanan yang meneladan Yesus Kristus dengan kepribadian yang utuh, optimal, seimbang, jujur, disiplin, mandiri, kreatif, mau bekerja keras, humanis, selalu sedia melayani, dan berani berjuang bagi sesama.

3. Kehadiran di Sekolah

3.1. Pada Hari Efektif
Prinsip dasar: siswa wajib hadir 100% pada hari efektif yang ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian, demi tercapainya proses belajar mengajar yang tertib, lancar, dan bermutu seperti diharapkan semua pihak, seluruh siswa wajib berada di dalam kompleks sekolah pada hari efektif tersebut. Untuk menunjang prinsip tersebut dan untuk menumbuhkan semangat disiplin yang tinggi diatur beberapa hal pokok mengenai :
a. Keterlambatan
· Siswa yang terlambat tidak diperkenankan masuk kelas sebelum mendapat surat izin dari subpamong.
· Subpamong dapat memberikan sanksi kepada siswa yang terlambat.
· Meskipun siswa sudah mendapat surat izin masuk kelas dari subpamong, guru yang mengajar dapat menolak siswa untuk mengikuti pelajarannya. Dalam hal demikian siswa tersebut harus kembali menghadap subpamong.

b. Presensi
· Siswa wajib hadir di sekolah pada hari-hari efektif sekolah.
· Siswa yang berhalangan hadir wajib membawa surat keterangan dari orang tua atau wali yang resmi (wali yang dikukuhkan dengan akta perwalian dari notaris), apabila diperlukan dapat menyertakan surat-surat pendukung, misalnya surat dokter.
· Siswa yang karena suatu hal tidak akan dapat mengikuti pelajaran atau tidak akan masuk sekolah wajib meminta izin sebelumnya kepada subpamong dengan membawa surat keterangan dari orang tua atau wali.
· Petugas piket kelas wajib mencatat nama siswa dan nomor absen siswa yang tidak hadir pada papan absensi kelas.

3.2. Pada Hari Tidak Efektif (Libur)
Supaya siswa dapat belajar menempatkan diri, siswa yang hadir di sekolah pada hari tidak efektif (libur) untuk kepentingan apa pun wajib berpenampilan rapi, menggunakan baju atau kaos berkrah, celana panjang bukan kolor, bersepatu atau bersepatu sandal, dan rambut berwarna alami. Jika tidak demikian, petugas keamanan berhak melarang siswa untuk masuk ke lingkungan sekolah.

4. Surat Keterangan Tidak Masuk
a. Siswa yang tidak masuk sekolah karena sakit harus memberikan surat keterangan dari orang tua atau wali. Siswa diberi kesempatan tiga hari untuk membereskan surat keterangan sakit tersebut. Lebih dari tiga hari, siswa dianggap absen tanpa keterangan (alpa)
b. Siswa yang sakit lebih dari tiga hari harus menyerahkan surat keterangan sakit dari orang tua atau wali yang dilampiri surat dokter.
c. Surat keterangan yang diberikan kepada sekolah, baik surat izin maupun surat keterangan sakit, harus didialogkan dengan subpamong untuk mendapatkan pengesahan.
d. Apabila ada keperluan keluarga yang mendadak atau tidak terencana, orang tua atau wali dapat datang ke sekolah dengan membawa surat keterangan atau menelepon ke sekolah untuk memberitahukan perihal ketidakhadiran secara lisan. Surat keterangan dapat disusulkan kemudian. Apabila keperluan keluarga tersebut dapat direncanakan sebelumnya, siswa harus meminta izin kepada subpamong minimal satu hari sebelumnya dengan menyerahkan surat keterangan dari orang tua atau wali; jika tidak, izin tidak akan diberikan.

5. Perizinan pada Jam Sekolah
a. Pada prinsipnya, selain untuk kepentingan sekolah dengan penugasan resmi dari sekolah, siswa tidak diperbolehkan meninggalkan pelajaran atau keluar dari kompleks sekolah. Semua siswa wajib mengikuti semua pelajaran yang diberikan di kelasnya. Pada jam sekolah hendaknya konsentrasi dan perhatian semua siswa tercurah pada kegiatan di sekolah.
b. Perizinan untuk keperluan keluarga, pribadi, atau urusan lain pada jam sekolah berlaku seperti perizinan untuk absensi (tidak masuk sekolah), yaitu surat izin dari orang tua atau wali diserahkan kepada subpamong minimal sehari sebelumnya.
c. Meninggalkan pelajaran hanya seizin subpamong berdasarkan alasan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Siswa yang meninggalkan pelajaran seizin subpamong akan dicatat dalam buku harian absensi sekolah.
d. Siswa meninggalkan sekolah tanpa seizin subpamong dianggap membolos dan dicatat dalam buku harian absensi sekolah.
e. Pada umumnya siswa tidak diberi izin untuk mengurus suatu hal yang terjadi karena keteledoran sendiri, misalnya mengurus tilang karena tidak memakai helm.
f. Izin untuk mengambil buku, tugas atau PR, uang, atau pergi ke bengkel, pada umumnya tidak diberikan. Seandainya diizinkan, hal ini dicatat sebagai keterlambatan dan diberikan sanksi atas keteledoran tersebut. Para siswa diajak untuk membuat perencanaan dan persiapan yang baik sehingga kegiatan sekolahnya dapat berjalan dengan baik dan lancar.
g. Meninggalkan sekolah untuk mengurus SIM C diizinkan, sedangkan untuk SIM A dianjurkan untuk mengurusnya pada hari libur atau di luar jam efektif sekolah. Hal ini disebabkan sekolah hanya mengizinkan para siswa pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor. Oleh karena itu, pengurusan SIM A yang menyita waktu belajar siswa di sekolah tidak ada relevansinya.
h. Siswa yang minta izin untuk pulang tidak boleh menyuruh / meminta temannya untuk mengantar, kecuali jika sakit berat. Hal ini akan mengganggu atau merugikan proses belajar dari teman yang bersangkutan.
i. Izin untuk istirahat di UKS hanya diberikan kepada siswa yang sungguh-sungguh sakit atau memerlukan istirahat sementara, sebagai proses penyembuhan, setelah mendapat izin subpamong. Izin hanya diberikan untuk satu atau dua jam pelajaran. Apabila setelah istirahat di UKS kondisi kesehatan siswa tidak menjadi lebih baik, siswa diizinkan pulang untuk istirahat di rumah atau berobat ke dokter. Keesokan harinya siswa harus menyerahkan surat keterangan dari orang tua atau wali bahwa ia memang sungguh-sungguh beristirahat di rumah atau berobat ke dokter.
j. Siswa tidak diizinkan libur mendahului ketentuan liburan yang ditetapkan sekolah dan siswa juga tidak diizinkan masuk sekolah melampaui batas waktu liburan yang ditetapkan sekolah.

6. Ulangan dan Praktikum Susulan
a. Ulangan atau praktikum susulan dapat dilakukan setelah siswa memperoleh surat keterangan mengikuti ulangan susulan atau praktikum susulan yang disahkan subpamong.
b. Syarat memperoleh surat keterangan mengikuti ulangan atau praktikum susulan adalah dengan menyerahkan surat keterangan / izin dari orang tua atau wali dan mendapat pengesahan dari subpamong.
c. Ulangan atau praktikum susulan tidak akan diberikan oleh guru apabila siswa tidak memiliki surat keterangan mengikuti ulangan susulan atau praktikum susulan.
d. Proses untuk mengurus surat keterangan mengikuti ulangan atau praktikum susulan dibatasi maksimal tujuh hari, terhitung sejak siswa masuk sekolah setelah absen.
e. Proses untuk menyerahkan surat keterangan mengikuti ulangan atau praktikum susulan kepada guru yang bersangkutan dibatasi maksimal tiga hari, terhitung sejak siswa memperoleh surat keterangan ulangan atau praktikum susulan dari subpamong. Lebih dari tiga hari, guru berhak menolak permohonan ulangan atau praktikum susulan dari siswa.
f. Siswa yang surat keterangan mengikuti ulangan atau praktikum susulannya hilang karena kelalaiannya sendiri, tidak akan mendapatkan salinan / surat keterangan lagi dari subpamong. Siswa diajak untuk tidak menunda-nunda proses pengurusan ulangan susulan kepada guru yang bersangkutan.

7. Istirahat
a. Lebih kurang 15 menit menjelang berakhirnya pelajaran praktik pendidikan jasmani dan kesehatan siswa mendapat kesempatan untuk beristirahat dan berbenah diri. Kesempatan tersebut harus digunakan untuk persiapan mengikuti pelajaran berikutnya.
b. Waktu istirahat sesudah jam pelajaran ketiga, dan kelima dimaksudkan untuk penyegaran. Oleh karena itu, selama istirahat sebaiknya siswa keluar dari ruang kelas untuk menyegarkan badan dan pikiran dengan udara segar dan tidak tinggal di dalam ruang kelas atau tidur-tiduran di atas meja atau kursi.
c. Pada waktu istirahat siswa dapat makan atau minum di kantin.
d. Pada waktu istirahat siswa tidak diperkenankan keluar dari kompleks sekolah. Siswa yang akan meninggalkan kompleks sekolah pada waktu istirahat harus seizin subpamong berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

8. Penampilan
a. Cara berpakaian dan berdandan hendaknya sederhana dan proporsional sebagai siswa yang akan bersekolah. Pakaian bersih, pantas, tidak sobek, tidak dicoret-coret, dan tidak terdapat tulisan atau gambar yang berbau SARA.
b. Rambut bersih ditata rapi dan berwarna alami.
c. Dilarang memakai sandal kecuali dengan alasan medis atau alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Dilarang memakai sepatu atau sepatu sandal dengan menginjak bagian belakang sepatu atau sepatu sandal tersebut.
d. Seragam sekolah adalah baju putih dilengkapi badge dan identitas SMA Kolese De Britto dengan celana panjang abu-abu polos bahan seragam SMA. Siswa wajib memakai seragam pada hari Senin atau pada hari-hari lain yang akan diumumkan oleh sekolah. Selain hari Senin, siswa boleh memakai pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor.
e. Selama berolah raga, siswa memakai pakaian olah raga yang pantas. Pakaian olah raga yang sudah terpakai dipelihara dan ditempatkan pada tempatnya supaya tidak mengganggu kepentingan umum.

9. Keuangan
a. Uang saku siswa hendaknya tidak melebihi kebutuhan seorang pelajar SMA. Tidak dibenarkan siswa membawa uang berlebihan ke sekolah, kecuali untuk pembayaran uang sekolah.
b. Siswa dilarang menyimpan uang saku atau uang untuk keperluan lain di dalam tas yang ditinggal di ruang kelas. Siswa bertanggung jawab penuh terhadap uang yang dibawanya.

10. Ekaristi Sekolah
Perayaan ekaristi bersama dimaksudkan agar seluruh anggota komunitas semakin memahami dan menghayati nilai-nilai injili yang menjadi dasar pendidikan di SMA Kolese De Britto, serta untuk memupuk hubungan yang semakin erat dengan Tuhan.
a. Semua anggota komunitas menghadiri perayaan ekaristi untuk semua acara sekolah (pembukaan tahun ajaran, Hari De Britto, HUT sekolah, penutupan tahun ajaran, dan pada hari-hari lain yang ditentukan sekolah).
b. Ekaristi kelas pertingkat wajib diikuti oleh semua siswa yang beragama Katolik. Siswa yang tidak beragama Katolik tidak diwajibkan menghadiri ekaristi kelas. Apabila siswa yang tidak beragama Katolik tidak mengikuti ekaristi kelas, siswa tersebut diwajibkan mengikuti kegiatan pendampingan lain yang sudah ditentukan oleh sekolah.

11. Upacara Bendera
Upacara bendera adalah suatu kegiatan untuk menghayati dan memupuk semangat kebangsaan dan rasa tanggung jawab kepada tanah air tercinta.
a. Upacara bendera wajib diikuti seluruh anggota komunitas.
b. Penanggung jawab pelaksanaan upacara di sekolah ditentukan oleh direksi sesuai dengan agenda tahunan yang telah ditetapkan.

12. Retret/Geladi Rohani
Retret diselenggarakan untuk siswa katolik dengan tujuan agar siswa dapat semakin memahami dan menghayati spiritualitas kristiani, menghayati pengalaman imannya sebagai seorang kristiani yang sedang belajar, serta mampu membuat keputusan yang baik tentang jalan hidup/pilihan studi yang akan dipilih selepas SMA. Geladi rohani diselenggarakan untuk siswa nonkatolik dengan tujuan untuk menanamkan semangat saling mencintai sesama dengan mengenal diri sendiri maupun Tuhan, Sang Pencipta.
a. Setiap tahun sekolah menyelenggarakan kegiatan retret yang wajib diikuti siswa kelas XII yang beragama Katolik, selama tiga hari.
b. Siswa kelas XII yang tidak beragama Katolik wajib mengikuti geladi rohani yang dibimbing oleh tim yang ditunjuk oleh direksi.
c. Dalam setiap penyelenggaraan retret atau geladi rohani, ada beberapa guru yang ditunjuk direksi untuk mendampingi siswa secara penuh sehingga acara retret atau geladi rohani dapat berjalan dengan baik dan lancar.

13. Kartu Pelajar
a. Setiap siswa wajib memiliki kartu pelajar dengan masa berlaku seperti yang ditetapkan sekolah.
b. Apabila kartu pelajar hilang, siswa harus segera mengurus kartu pelajar baru pada wakasek urusan kesiswaan/pamong melalui subpamong dengan menyertakan bukti kehilangan dari kepolisian.
c. Kartu pelajar harus selalu dibawa sebagai kartu identitas siswa.
d. Setiap tahun ajaran baru semua siswa wajib memperbaharui kartu pelajarnya.
e. Pengurusan atau pembuatan kartu pelajar dikoordinasi oleh wakasek urusan kesiswaan/pamong.

14. Merokok
a. Siswa dilarang merokok di lingkungan sekolah.
b. Siswa yang karena alasan tertentu dan dapat dipertanggungjawabkan diizinkan keluar dari kompleks sekolah pada jam pelajaran, tetap dilarang merokok.

15. Narkoba, Minuman Keras, Senjata Tajam, Majalah, Gambar, dan VCD/DVD Porno
Siswa dilarang membawa, mengedarkan, dan menggunakan barang-barang seperti : narkoba, minuman keras, senjata tajam, majalah, gambar, dan VCD/DVD porno.
16. Perkelahian
Segala macam perkelahian antarsiswa tidak dapat dibenarkan. Demikian juga mengancam sesama siswa tidak dibenarkan. Siswa yang berkelahi atau mengancam sesama siswa apalagi melibatkan pihak luar yang bukan siswa SMA Kolese De Britto dapat dikeluarkan dari sekolah. Segala permasalahan antarsiswa harus diselesaikan di dalam sekolah dengan suasana damai dan penuh kekeluargaan. Perkelahian pada hakikatnya bertentangan dengan rasa sosial yang ingin ditanamkan dalam diri siswa.

17. Telepon Seluler (Ponsel)
a. Siswa dilarang menggunakan ponsel selama jam pelajaran berlangsung dan pada kegiatan sore hari, seperti ekstrakurikuler, pelajaran tambahan. Apabila pada jam-jam tersebut ponsel diaktifkan, ponsel wajib diatur dengan nada diam atau getar.
b. Pada saat ujian sekolah berlangsung, seperti ulangan harian, ulangan blok, ulangan umum, TPHBS, ujian sekolah dan nasional, siswa dilarang mengaktifkan ponsel.

18. Hukuman/Sanksi/Tugas Khusus
a. Hukuman diberikan sebagai sarana untuk memupuk rasa tanggung jawab siswa karena pelanggaran atas aturan bersama yang berakibat mengganggu atau merugikan pihak lain.
b. Bentuk hukuman diberikan berdasarkan bobot pelanggaran siswa dan konsekuensi yang ditimbulkan akibat pelanggaran siswa tersebut. Bentuk hukuman dapat berupa:
· Fisik: lari lapangan, push up, sit up.
· Memberikan tugas khusus atau tugas sosial.
· Menahan untuk sementara atau menyita barang-barang yang menyebabkan siswa melanggar tata tertib sekolah.
· Memberikan peringatan lisan, peringatan tertulis, skorsing beberapa hari.
· Mengeluarkan siswa dari sekolah.
c. Pelanggaran yang dianggap serius dan berat antara lain:
· Menantang atau memukul guru atau karyawan.
· Berkelahi atau melakukan pengeroyokan dalam perkelahian.
· Menghasut sesama siswa untuk mengacau ketertiban sekolah.
· Memalsu tanda tangan orang tua atau wali, guru, atau pemimpin sekolah.
· Membawa atau memasukkan obat-obat terlarang ke lingkungan sekolah, membawa bacaan atau gambar-gambar porno, minuman keras, atau senjata tajam ke sekolah untuk keperluan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
· Mencuri.
· Menyontek
· Les pada guru SMA Kolese De Britto.
· Merusak nama baik sekolah. Selengkapnya...

JOHANES DE BRITTO: PEJUANG BAGI SESAMA

Johanes de Britto hidup pada masa kejayaan Portugal. Pada masa itu Vasco da Gama dan Alfonso d’Albuquerque adalah tokoh-tokoh yang mencapai Tanjung Harapan sehingga terbukalah jalan menuju India. Setelah merebut kembali kemerdekaan dari tangan Spanyol tahun 1640, bangsa Portugal memulai kembali ekspedisi pelayarannya ke Timur Jauh, India. Dalam ekspedisi ini, para misionaris juga ikut berperan dalam pewartaan iman di tanah misi, seperti Fransiskus Xaverius yang telah sampai ke Malaka, kepulauan Maluku, Jepang, dan bahkan mendekati Tiongkok.

De Britto lahir di Lisboa, Portugal 12 Maret 1647 sebagai anak bungsu seorang bangsawan (kepala kerajaan dari Pangeran Braganza), Don Salvador de Britto Pareira. Sampai 1662, de Britto dididik di istana kerajaan bersama putra raja, yaitu Don Pedro yang menjadi sahabat karibnya sejak kecil. Saat umur 10 tahun de Britto sakit keras. Ibunya, Dona Beatrix, memohonkan kesembuhan bagi anaknya pada St. Fransiskus Xaverius dengan janji apabila de Britto sembuh, de Britto akan mengenakan jubah Yesuit selama satu tahun sebagai ungkapan terima kasih. Mujizat terjadi, de Britto sembuh. Sejak saat itu, ke mana-mana de Britto mengenakan jubah Yesuit sehingga ia sering dipanggil sebagai rasul kecil apostolinho.

De Britto pun akhirnya tertarik untuk hidup sebagai misionaris-Yesuit, seperti Fransiskus Xaverius. Ia masuk novisiat di Lisboa 17 Desember 1661. Pada akhir masa novisiatnya yang dua tahun itu ia mengucapkan kaul. Perhatian dan bela rasa yang dimiliki de Britto semakin tampak ketika ia tinggal di novisiat. Don Pedro, sahabatnya, suatu saat pernah menjenguk di novisiat dan ia menemukan de Britto sedang mengunjungi tukang kebunnya yang sakit di pondokannya.

Johanes de Britto belajar filsafat di Evora, tetapi karena tak cocok dengan udaranya, ia dipindah ke Universitas Coimbra untuk belajar filsafat dan teologi di sana. Tahun 1673 ia ditahbiskan menjadi imam. Ketika di Evora maupun di Coimbra, juga kemudian di Goa ketika ia menyelesaikan teologinya sebelum berangkat ke tanah misi, de Britto telah dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai hati. Ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, berpikiran jernih, tertata dengan baik, tekun dan teliti dalam studi dan penelitian. Selain itu, ia juga merupakan seorang pribadi yang menyenangkan.

Ia merasa memiliki ikatan batin dengan Santo Fransiskus Xaverius, sang misionaris agung. Ketika berusia 15 tahun, de Britto sudah meminta kepada Pembesar Serikat Jesus, Paul Oliva untuk diperkenankan mengikuti jejak Fransiskus. Ia menuliskan permintaannya ini pada tahun 1668 dan ketika belum ada jawaban, ia menuliskannya lagi setahun kemudian. Pemimpin Serikat Jesus berpendapat, lebih baik ia menyelesaikan belajar teologinya dulu sebelum diutus ke India. Akhirnya permohonannya dikabulkan oleh Serikat Jesus.

Meneruskan Jejak Roberto de Nobilli

De Britto begitu tertarik untuk menjadi misionaris di India, selain karena pengalaman mujizat atas kebaikan Fransiskus Xaverius, juga karena sharing beberapa Yesuit yang telah bekerja sebagai misionaris di India, terutama dari Pater Da Costa yang telah berkarya selama 35 tahun. Dari sinilah semakin muncul jiwa kemartirannya sebab sejak awal memang pergulatan misionaris di India tidaklah ringan.
De Britto ditunjuk menjadi misionaris di Madurai oleh Jenderal Serikat Jesus. Bulan Maret 1673 ia bertolak dari Portugal dan sampai di Goa pada bulan September. Ia sampai Madurai setelah melakukan perjalanan darat yang melelahkan dan berbulan-bulan. Belajar dari kegagalan beberapa Yesuit sebelumnya, yang pertama-tama dilakukan de Britto adalah mempelajari tradisi dan budaya setempat. Dalam hal ini ia berhutang budi pada Roberto de Nobilli, yang karena ketajaman analisisnya berhasil membuka jalan pewartaan dengan lebih baik. Sistem kasta merupakan tradisi masyarakat Madurai dan India pada umumnya. Dalam sistem itu masyarakat terbagi menjadi empat kelompok, yaitu brahmana (para pendeta), perwira, pedagang, dan sudra (para petani dan tukang). Di samping keempat kasta ini, masih ada satu golongan lagi yang paling dihinakan, yaitu paria (mereka yang tidak memiliki hak sama sekali, terkutuk, gelandangan). Menurut de Nobilli sistem kasta menyebabkan pewartaan iman kurang mengena sebab misionaris seringkali tidak memiliki akses pada banyak kelompok ini. Selain itu, karya misi menjadi lembek karena para misionaris Eropa tak mampu menempatkan diri secara tepat. Cara hidup para misionaris Eropa waktu itu justru membuat batu sandungan. Mereka mempunyai pelayan seorang paria, padahal perilaku seperti ini dianggap mencemarkan dirinya. Mereka juga makan lembu dan minum minuman keras. Tak mengherankan apabila mereka kehilangan kehormatan dan kewibawaan di kalangan orang-orang India. Situasi ini membuat de Nobilli bersikap lain. Ia mengadakan inkulturasi, menjadi pendeta, makan dan minum seperti tradisi para pendeta umumnya. Rupanya dengan cara ini, de Nobilli memperoleh kepercayaan di kalangan orang India sehingga banyak orang datang kepadanya dan akhirnya dibaptis.

Sebagai misionaris de Britto meneruskan cara-cara de Nobilli. Ia tidak menjadi pendeta, namun sebagai pandara swami, suatu derajat yang lebih rendah dari pendeta. Dengan cara ini ia mengumpulkan banyak orang dari berbagai macam kasta. Di samping itu, ia belajar dan mendalami bahasa Tamil dan bahasa yang digunakan di kalangan intelektual pada masa itu, yaitu Sanskerta. Dengan kedua bahasa itu de Britto menyelami dan menguasai berbagai macam pandangan filsafat yang mereka miliki, mengkritisinya, dan membawa mereka pada kebenaran Allah.

Sebagai misionaris, de Britto terkenal sebagai seorang pekerja keras. Ia sering mengunjungi umatnya di daerah-daerah melalui jalan darat yang jauh dan melelahkan, memberikan sakramen pengakuan dosa, dan membaptis mereka. Salah satu kesaksian missionaris Madurai berbunyi demikian, “Sejak saya menginjakkan kaki di daerah misi 1680, Pater de Britto dengan kerjanya tak kenal lelah berhasil mengembangkan wilayah katolik, meskipun rintangan dan penganiayaan begitu sengit. Semua bahaya ditempuhnya asal ia dapat menolong jiwa-jiwa dan memperluas kerajaan Allah. Keinginan dan semangatnya menolong orang-orang dan mempertobatkan mereka yang kafir begitu besar sehingga dalam pandanganku ia adalah St. Fransiskus Xaverius baru.”

Ketika itu di daerah Madurai terjadi pertikaian besar antarpara raja di sana, seperti raja Maisur, Marava, Tanyaur, dan Ginggi. Penindasan dan penganiayaan atas jemaat kristiani terjadi begitu hebat. Seringkali Pater de Britto menyelamatkan dan melindungi mereka dari berbagai macam penganiayaan dan penindasan itu dengan masuk ke dalam hutan.

Di Marava pada 1683 telah ada 4000 orang katolik. Mereka ini semua ada dalam penganiayaan dan pengejaran Panglima Kumara. De Britto juga tertangkap dan mengalami penganiayaan berat ketika sedang melindungi umatnya. Akan tetapi, ketika Panglima ini mau menghukum de Britto atas kegiatannya menyebarkan iman, secara mengejutkan Raja Marava membebaskannya. Ia hanya diberi peringatan terakhir. Ia boleh tinggal di Marava, tetapi tidak boleh lagi menyebarkan imannya di sana. Kalau melanggar, ia akan dihukum mati.

Setelah dibebaskan, ia sempat kembali ke Portugal untuk melaporkan keadaan di daerah misinya. Tentu ia disambut dengan suka cita besar sebagai seorang pahlawan. Akan tetapi, hal itu malahan membuatnya sedih sebab banyak umatnya menderita selagi ia ke Portugal. Ia segera ingin menyelesaikan urusannya sebab hatinya selalu tertuju pada umat di Madurai, khususnya di Marava. Ia kembali lagi ke Madurai dan secara sembunyi-sembunyi mengunjungi umatnya. Ia mempertobatkan dan membaptis 8000 orang dan mendengarkan pengakuan dosa. Rupanya katekis yang telah dididiknya bekerja dengan sangat baik.

Teguh dalam Sikap dan Membela Kebenaran

Salah seorang putra Raja Marava, yaitu Tedayadaven, sangat tertarik dengan Pandara Swami de Britto. Ia bersedia diajar agama Katolik dan menjadi magang baptis. Akan tetapi, tiba-tiba ia sakit keras dan dengan doa de Britto penyakitnya itu sembuh. Tedayadaven memang menunjukkan minatnya untuk memeluk iman kristiani, namun ada satu halangan, ia memiliki banyak istri. Oleh de Britto ia ditantang apakah bisa setia kepada satu istri seumur hidup dan melepaskan empat istri lainnya. Tedayadaven memilih istri pertama sebagai istrinya. Rupanya salah satu istri yang diceraikan adalah kemenakan Raja Marava. Ia melapor kepada raja. Raja Marava marah atas nasib kemenakannya dan berjanji akan menghukum de Britto. Sejak itulah de Britto masuk dalam daftar orang yang dicari. Raja Marava memerintahkan untuk membakar semua gereja dan menghukum orang-orang katolik serta memerintahkan untuk menangkap de Britto.

De Britto ditangkap ketika sedang melayani pengakuan dosa. Ia ditangkap dengan kasar dan dipukuli lalu digelandang ke ibukota. Imam-imam berhala mencoba mempergunakan sihir untuk mencelakai de Britto, tetapi semua itu tidak mempan. Katanya, “Karena mantera milik de Britto lebih kuat !” Ketika de Britto akan dieksekusi, putra raja membelanya dengan gigih maka raja mengurungkan niatnya untuk mengeksekusi de Britto. Ia hanya akan dibuang ke luar kerajaan.

Tanggal 29 Januari de Britto dibawa ke Oriur. Gubernur Oriur adalah adik Raja Marava, yang lebih kejam dan bengis, namun kini ia agak buta dan lumpuh. Ia pernah mendengar mujizat de Britto maka ia meminta supaya de Britto menyembuhkannya. Akan tetapi, de Britto tidak bersedia dan mengatakan, “Hanya Tuhan yang dapat menyembuhkan engkau.” Gubernur marah dan menyuruh menghukum de Britto. Akan tetapi, istrinya membela de Britto dan tidak setuju kalau ia menghukum orang yang tidak berdosa. Akhirnya, pada tanggal 4 Februari 1693, Gubernur kota Oriur memutuskan untuk menghukum mati de Britto di tangan lima algojo. Kepalanya dipenggal, tangan dan kakinya dipenggal, serta tubuhnya diletakkan di tiang pancang sebagai makanan burung-burung liar.

De Britto telah tiada, namun semangatnya akan tetap dikenang oleh orang-orang India. Bagaimana dengan semangat kita yang menyebut diri siswa dan keluarga besar De Britto?
Selengkapnya...

PENDIDIKAN BEBAS DI SMA KOLESE DE BRITTO SEBAGAI SIKAP DASAR

Kalau SMA Kolese De Britto memberanikan diri memakai istilah pendidikan bebas, yang dimaksud bukanlah suatu pendidikan ke arah anarki: suatu sistem yang bebas dari peraturan yang perlu untuk kehidupan bermasyarakat. Bukan pula suatu sistem yang merestui segala penyelewengen dari nilai-nilai yang kami cita-citakan, melainkan terutama adalah suatu sikap dalam usaha kami, para pendidik bersama peserta didik, untuk bersama-sama mencari pengarahan dalam tindak-tanduk, berlandas pada pengakuan bahwa karunia manusia yang paling asasi dan luhur adalah kebebasannya yang harus diprioritaskan dalam proses pembentukan kepribadian.

Dalam kesadaran tersebut, para pengajar SMA Kolese De Britto sependapat bahwa mereka tidak hanya menyampaikan bahan pelajaran saja (mengajar), tetapi sekaligus mendidik. Artinya, menolong, membantu mencarikan pengarahan kepada anak didik supaya dapat memilih jalan hidup serta perbuatan sendiri, tanpa sebelumnya atau sesudahnya menutup rapat-rapat kemungkinan pemilihan lain. Kemampuan dan kesanggupan untuk menentukan pilihan pribadi bagi tindak-tanduknya dan jalan hidupnya sendiri dengan tanggung jawab pribadi, tidak lain dan tidak bukan adalah kebebasannya. Sikap yang harus mendasari pendidik dalam mendidik adalah menolong, bukan mengambil alih, mencarikan pengarahan (membimbing) pada anak didik. Anak didik adalah subjek, yaitu “sumber, pembawa, pemilik” aktivitas manusia yang dikaruniai kebebasan untuk “melihat” dan “memilih” secara manusia, yaitu secara bebas apa yang (dapat) memberikan arti kepada hidupnya sebagai manusia (hidup yang berperikemanusiaan).

Pengarahan pemilikan itu tetap mengandaikan anak didik aktif-sadar akan kemampuannya, bebas untuk berpikir dan menilik yang baik atau yang tidak baik; yang ini atau yang itu, (mungkin) sama baiknya, bahkan yang sama buruknya. Keagungan manusia justru terletak pada kemungkinan untuk dapat memilih yang kurang baik, bahkan yang jahat sekali pun, tetapi akhirnya (mungkin dengan banyak pengorbanan), masih berani dengan bebas memilih yang baik. Memang ada risikonya (penyelewengan, ekses), tetapi risiko mengandung kemungkinan positif “pemanusiaan” yang mahadahsyat. Pemilihan itu tidak ditentukan oleh penilaian baik/tidak baik menurut pandangan sewenang-wenang (pemilih bebas) itu sendiri.

Memilih secara manusia tidak berarti bahwa dia hidup sendiri tidak perlu peduli orang lain, atau sebaliknya dia bahkan hanyut tenggelam dalam dunia di mana perikemanusiaan sudah kabur. Secara manusiawi, manusia harus dapat memberikan pertanggungjawaban pada dirinya sendiri dan pada manusia lain (yang sama dasar kemanusiaannya) tentang apa yang dilakukannya. Jadi, sama sekali tidak berarti bahwa dia “bebas” untuk memberikan atau tidak memberikan pertanggungjawaban apa-apa. Sudah barang tentu tanggung jawab itu untuk setiap orang tidak sama. Ini jelas dan jelas pula bahwa manusia yang tidak memiliki kebebasan tidak mungkin dapat dimintai pertanggungjawaban. Juga jelas, kebebasan tidak berkembang secara untung-untungan sebagaimana juga tidak dengan sifat-sifat yang lain, misalnya kejujuran, ketekunan. Semuanya harus dilatih.

Kebebasan juga mengalami perkembangan dan karenanya harus diberi kesempatan untuk berkembang. Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan kesanggupan/kemampuan asasi ini berarti mengajak mereka untuk secara bebas menjatuhkan sendiri pilihan pada nilai-nilai kemanusiaan serta berani memperjuangkannya (dedikasi).

Sebagaimana pendidik tidak dapat dipisahkan dari perbuatan lain yang menjadi “wadah” pengartian mendidik, demikian pula “kebebasan” bukan suatu aktivitas sendiri, terpisah, tetapi “tersirat” dalam perbuatan lain: bebas dalam kejujuran atau jujur dengan bebas, bebas dalam perbuatan sosial atau berbuat sosial dengan bebas, dan seterusnya. Hanya dari manusia yang benar-benar dengan bebas (ikhlas) sadar akan perbuatannya dapat diharapkan dedikasi yang tidak kenal kompromi terhadap segala yang bertentangan dengan kemanusiaan. Hanya manusia bebas yang masih dapat dan berani melihat kemungkinan ke arah perbaikan (manusia), entah itu disebut modernisasi, pembangunan, dan sebagainya.

Dengan demikian, SMA Kolese De Britto tidak menolak adanya tanggung jawab, tidak menolak adanya pengarahan, tidak pula unsur bimbingan, tidak pula bahwa manusia harus dapat berdikari, tetapi yang hendak dinomorsatukan di atas semua itu adalah dimensi kebebasan yang membuat manusia mampu memilih arah hidupnya. Kami mengakui, pendidikan bebas mengandalkan penghayatan “kebebasan” pada para pendidik terlebih dahulu karena penyampaian nilai-nilai kemanusiaan bukanlah suatu indoktrinasi atau suatu timbang-terima bahan pendidikan, tetapi suatu proses serah-terima penghayatan pribadi satu pada dan dari yang lain. Orang sukar berbicara secara meyakinkan apabila dia sendiri tidak menghayati apa yang akan disampaikan. Orang sukar menuntut cinta atau kejujuran kalau dia sendiri tidak mencintai atau jujur. Cinta dan kejujuran tidak dapat dipaksakan, tetapi harus bersemi dari kebebasan pribadi yang sejati.

Sebagaimana cinta mengenal seni untuk membangkitkan tanggapan cinta, begitu pula “kebebasan yang dihayati” akan mampu menumbuhkan penghayatan kebebasan pada mereka yang ingin merdeka. Bebas, merdeka, tidak sebagai sesuatu yang berdiri lepas dari tindak-tanduk kehidupan sehari-hari, tetapi sebagai suatu tanda perikemanusiaan segenap tingkah laku serta perbuatan kita sehari-hari. Ini merupakan proses yang tidak terjadi secara untung-untungan (kemerdekaan harus diperjuangkan), tetapi menuntut dari para pendidik, orang tua, dan guru suatu kebulatan tekad serta keuletan usaha untuk menjadikan nyata apa yang sebagai manusia kita rasakan dan terus kita perjuangkan: sekali merdeka tetap merdeka.

Semoga uraian di atas dapat sekadar menolong memberikan gambaran tentang apa yang kami maksud dengan “sikap dasar pendidikan bebas di SMA Kolese De Britto”. Jika timbul pertanyaan tentang motivasi pendidikan bebas tersebut, kami menyebut tiga hal. Pertama, kesadaran-keyakinan kami bahwa kebebasan adalah kesadaran diri manusia sebagai subjek, yaitu sebagai sumber, pemilik, dan pembawa hidup serta tingkah lakunya dan ini juga berlaku untuk anak didik. Kedua, kesadaran diri sebagai subjek yang telah ada harus dilatih, diisi, diberi kesempatan untuk berkembang—kalau memang ingin berkembang. Bandingkan: kemerdekaan yang kita capai pada 17 Agustus 1945 tidak kita biarkan saja, melainkan kita isi dan kita kembangkan, misalnya melalui pembangunan. Ketiga, melihat kenyataan dan fakta-fakta pahit di dalam masyarakat dewasa ini, adanya kesadaran diri sebagai subjek memang sangat dibutuhkan. Dalam masyarakat, kesadaran tersebut ada yang masih belum berkembang (terbelenggu).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pendidikan bebas dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menjawabnya, kami perlu menjelaskan dengan lima hal.

Pertama, dari segi hakikat manusia: dapat, karena manusia pada hakikatnya bebas, yaitu dikaruniai kesanggupan atau kemampuan untuk memilih melaksanakan sesuatu yang baik atau memilih untuk tidak melaksanakannya. Tidak hanya “bebas dari” tetapi “bebas untuk”. Misalnya, bebas dari paksaan peraturan yang tidak adil, bebas untuk menaati peraturan, untuk memilih.

Kedua, dari segi periode pendewasaan anak: dapat, bahkan sesuai dengan anak pada masa pubertas yang sedang mencari/membentuk/menemukan pribadinya, menjadi pribadi.

Ketiga, dari segi keselarasan antara pendidikan di sekolah, di dalam keluarga, dan di dalam masyarakat: keselarasan harus dilandasi/didasari hakikat manusia yang memanusia dan bermanusia, di dalam dan melalui sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pemanusiaan ini bersumber pada pengakuan dan kesadaran bahwa manusia adalah subjek, yaitu sumber, pemilik, pembawa hidupnya sendiri. Manusia harus setia pada pemanusiaannya dan inilah keselarasannya. Penyelewengan berarti pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Keselarasan bukan semata-mata penyesuaian atau kesamaan pada/dengan salah satu pihak manusia atau masyarakat umum yang tidak mampu atau tidak berani menilai (kembali kalau perlu) proses pemanusiaannya. Keselarasan didasari kesadaran akan pemanusiaan yang makin berarti dan proses ini terjadi dengan konflik (pertentangan) intern (batin) dan ekstern (dengan penjajah, misalnya). Jadi, keselarasan tidak berarti tidak adanya konflik, baik intern maupun ekstern.
Keempat, dari segi tujuan pendidikan: dapat dipertanggungjawabkan sebab dengan menanamkan kesadaran diri pada anak didik, kami melandasi mereka dengan jiwa merdeka sebagai subjek yang menegara. Mengutip Ki Hadjar Dewantara, pendidikan jiwa merdeka merupakan suatu hal yang prinsipiil dalam pendidikan nasional. Kebebasan tidak hanya dibutuhkan pada zaman kolonial saja bahkan pada zaman merdeka pun masih sesuai.

Kelima, dari segi ekses-ekses yang diakibatkan. Ekses timbul dari hakikat manusia sendiri yang dianugerahi kebebasan manusiawi: dapat menentukan pilihan yang berbeda. Setiap manusia harus dihormati dalam kebebasan manusiawinya untuk memilih secara pribadi (beserta konsekuensinya tentu) dan kebebasan ini tidak pernah dirampas oleh kekuasaan apa pun juga. Akan tetapi, kami tidak mengatakan bahwa kami sudah merestui “pilihan (tingkah laku) yang berbeda” Kami mengatakan bahwa kami mengakui/menghormati/menghargai hak memilih. Jadi, kami tidak menyangkal adanya “pilihan tingkah laku yang berbeda”. Oleh karena itu, jika kami mengandaikan adanya pilihan yang “keliru” yang kita namakan “ekses” yang tampak, justru harus diberi kesempatan untuk menampakkan diri. Penampakan diri dalam bentuk ekses memberikan pertanda pada kita ada sesuatu yang tidak beres, entah di lingkungan sekolah maupun keluarga atau masyarakat. Dengan demikian, kita lebih mudah mencari jalan keluar untuk menolong orang yang membuat pilihan keliru. Ekses adalah “lampu merah yang positif”, yang mengungkapkan ketidakberesan. Oleh karena itu, tidak perlu dikhawatirkan, hanya perlu dipahami sebab justru segi inilah yang memberikan harapan dan melangsungkan kehidupan manusia dengan harapan dan gembira sebab ekses mengungkapkan jalan untuk perbaikan. Kami yakin, segi positif dalam pendidikan bebas, jauh lebih berlimpah daripada ekses-eksesnya. Sekadar kenyataan positif, SMA Kolese De Britto sama sekali tidak menyangsikan kemampuan siswanya untuk lebih berprestasi, baik dalam pelajaran maupun berorganisasi (bermasyarakat).

Dengan motivasi dan pertanggungjawaban itulah kami memberanikan diri untuk memilih pendidikan bebas. Oleh karena itu, bagi SMA Kolese De Britto istilah pendidikan bebas bukanlah sekadar istilah, melainkan istilah yang paling kena untuk pengertian yang kami maksud. Meskipun demikian, kami menyadari pula kemungkinan persoalan yang muncul jika pengertian tentang pendidikan bebas yang kami maksud disalahartikan sebagai pendidikan liar, misalnya.

Dalam pendidikan di SMA Kolese De Britto, dimensi kebebasan sungguh diprioritaskan. Menjadi demikian bukanlah sesuatu yang timbul begitu saja, tetapi merupakan suatu proses bertahun-tahun yang diilhami oleh pengamatan dan pengalaman terhadap gejala-gejala, kejadian-kejadian di dalam masyarakat, yang intinya sebagian besar berkisar pada kebebasan manusiawi ini serta merupakan kesadaran/ panggilan profesi para pendidik SMA Kolese De Britto bahwa sekolah harus merupakan wadah dan sarana yang menuju ke “pemanusiaan” masyarakat. Panggilan profesi inilah yang memberikan kekuatan, harapan, kebahagiaan, dan kegembiraan pada kami, pendidik, melaksanakan tugas membantu “membentuk” warga negara yang mempunyai kesadaran menegara yang bebas merdeka.

Yogyakarta, 29 Mei 1976.
Makalah ini dibuat J. Oei Tik Djoen, S.J., pater Jesuit. mantan rektor SMA Kolese De Britto, sebagai pertanggungjawaban beliau semasa menjadi rektor (tahun 1976) atas model pendidikan SMA Kolese De Britto yang digugat sebagian masyarakat.

Selengkapnya...