Senin, 07 Januari 2008

JOHANES DE BRITTO: PEJUANG BAGI SESAMA

Johanes de Britto hidup pada masa kejayaan Portugal. Pada masa itu Vasco da Gama dan Alfonso d’Albuquerque adalah tokoh-tokoh yang mencapai Tanjung Harapan sehingga terbukalah jalan menuju India. Setelah merebut kembali kemerdekaan dari tangan Spanyol tahun 1640, bangsa Portugal memulai kembali ekspedisi pelayarannya ke Timur Jauh, India. Dalam ekspedisi ini, para misionaris juga ikut berperan dalam pewartaan iman di tanah misi, seperti Fransiskus Xaverius yang telah sampai ke Malaka, kepulauan Maluku, Jepang, dan bahkan mendekati Tiongkok.

De Britto lahir di Lisboa, Portugal 12 Maret 1647 sebagai anak bungsu seorang bangsawan (kepala kerajaan dari Pangeran Braganza), Don Salvador de Britto Pareira. Sampai 1662, de Britto dididik di istana kerajaan bersama putra raja, yaitu Don Pedro yang menjadi sahabat karibnya sejak kecil. Saat umur 10 tahun de Britto sakit keras. Ibunya, Dona Beatrix, memohonkan kesembuhan bagi anaknya pada St. Fransiskus Xaverius dengan janji apabila de Britto sembuh, de Britto akan mengenakan jubah Yesuit selama satu tahun sebagai ungkapan terima kasih. Mujizat terjadi, de Britto sembuh. Sejak saat itu, ke mana-mana de Britto mengenakan jubah Yesuit sehingga ia sering dipanggil sebagai rasul kecil apostolinho.

De Britto pun akhirnya tertarik untuk hidup sebagai misionaris-Yesuit, seperti Fransiskus Xaverius. Ia masuk novisiat di Lisboa 17 Desember 1661. Pada akhir masa novisiatnya yang dua tahun itu ia mengucapkan kaul. Perhatian dan bela rasa yang dimiliki de Britto semakin tampak ketika ia tinggal di novisiat. Don Pedro, sahabatnya, suatu saat pernah menjenguk di novisiat dan ia menemukan de Britto sedang mengunjungi tukang kebunnya yang sakit di pondokannya.

Johanes de Britto belajar filsafat di Evora, tetapi karena tak cocok dengan udaranya, ia dipindah ke Universitas Coimbra untuk belajar filsafat dan teologi di sana. Tahun 1673 ia ditahbiskan menjadi imam. Ketika di Evora maupun di Coimbra, juga kemudian di Goa ketika ia menyelesaikan teologinya sebelum berangkat ke tanah misi, de Britto telah dikenal sebagai seorang intelektual yang mempunyai hati. Ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, berpikiran jernih, tertata dengan baik, tekun dan teliti dalam studi dan penelitian. Selain itu, ia juga merupakan seorang pribadi yang menyenangkan.

Ia merasa memiliki ikatan batin dengan Santo Fransiskus Xaverius, sang misionaris agung. Ketika berusia 15 tahun, de Britto sudah meminta kepada Pembesar Serikat Jesus, Paul Oliva untuk diperkenankan mengikuti jejak Fransiskus. Ia menuliskan permintaannya ini pada tahun 1668 dan ketika belum ada jawaban, ia menuliskannya lagi setahun kemudian. Pemimpin Serikat Jesus berpendapat, lebih baik ia menyelesaikan belajar teologinya dulu sebelum diutus ke India. Akhirnya permohonannya dikabulkan oleh Serikat Jesus.

Meneruskan Jejak Roberto de Nobilli

De Britto begitu tertarik untuk menjadi misionaris di India, selain karena pengalaman mujizat atas kebaikan Fransiskus Xaverius, juga karena sharing beberapa Yesuit yang telah bekerja sebagai misionaris di India, terutama dari Pater Da Costa yang telah berkarya selama 35 tahun. Dari sinilah semakin muncul jiwa kemartirannya sebab sejak awal memang pergulatan misionaris di India tidaklah ringan.
De Britto ditunjuk menjadi misionaris di Madurai oleh Jenderal Serikat Jesus. Bulan Maret 1673 ia bertolak dari Portugal dan sampai di Goa pada bulan September. Ia sampai Madurai setelah melakukan perjalanan darat yang melelahkan dan berbulan-bulan. Belajar dari kegagalan beberapa Yesuit sebelumnya, yang pertama-tama dilakukan de Britto adalah mempelajari tradisi dan budaya setempat. Dalam hal ini ia berhutang budi pada Roberto de Nobilli, yang karena ketajaman analisisnya berhasil membuka jalan pewartaan dengan lebih baik. Sistem kasta merupakan tradisi masyarakat Madurai dan India pada umumnya. Dalam sistem itu masyarakat terbagi menjadi empat kelompok, yaitu brahmana (para pendeta), perwira, pedagang, dan sudra (para petani dan tukang). Di samping keempat kasta ini, masih ada satu golongan lagi yang paling dihinakan, yaitu paria (mereka yang tidak memiliki hak sama sekali, terkutuk, gelandangan). Menurut de Nobilli sistem kasta menyebabkan pewartaan iman kurang mengena sebab misionaris seringkali tidak memiliki akses pada banyak kelompok ini. Selain itu, karya misi menjadi lembek karena para misionaris Eropa tak mampu menempatkan diri secara tepat. Cara hidup para misionaris Eropa waktu itu justru membuat batu sandungan. Mereka mempunyai pelayan seorang paria, padahal perilaku seperti ini dianggap mencemarkan dirinya. Mereka juga makan lembu dan minum minuman keras. Tak mengherankan apabila mereka kehilangan kehormatan dan kewibawaan di kalangan orang-orang India. Situasi ini membuat de Nobilli bersikap lain. Ia mengadakan inkulturasi, menjadi pendeta, makan dan minum seperti tradisi para pendeta umumnya. Rupanya dengan cara ini, de Nobilli memperoleh kepercayaan di kalangan orang India sehingga banyak orang datang kepadanya dan akhirnya dibaptis.

Sebagai misionaris de Britto meneruskan cara-cara de Nobilli. Ia tidak menjadi pendeta, namun sebagai pandara swami, suatu derajat yang lebih rendah dari pendeta. Dengan cara ini ia mengumpulkan banyak orang dari berbagai macam kasta. Di samping itu, ia belajar dan mendalami bahasa Tamil dan bahasa yang digunakan di kalangan intelektual pada masa itu, yaitu Sanskerta. Dengan kedua bahasa itu de Britto menyelami dan menguasai berbagai macam pandangan filsafat yang mereka miliki, mengkritisinya, dan membawa mereka pada kebenaran Allah.

Sebagai misionaris, de Britto terkenal sebagai seorang pekerja keras. Ia sering mengunjungi umatnya di daerah-daerah melalui jalan darat yang jauh dan melelahkan, memberikan sakramen pengakuan dosa, dan membaptis mereka. Salah satu kesaksian missionaris Madurai berbunyi demikian, “Sejak saya menginjakkan kaki di daerah misi 1680, Pater de Britto dengan kerjanya tak kenal lelah berhasil mengembangkan wilayah katolik, meskipun rintangan dan penganiayaan begitu sengit. Semua bahaya ditempuhnya asal ia dapat menolong jiwa-jiwa dan memperluas kerajaan Allah. Keinginan dan semangatnya menolong orang-orang dan mempertobatkan mereka yang kafir begitu besar sehingga dalam pandanganku ia adalah St. Fransiskus Xaverius baru.”

Ketika itu di daerah Madurai terjadi pertikaian besar antarpara raja di sana, seperti raja Maisur, Marava, Tanyaur, dan Ginggi. Penindasan dan penganiayaan atas jemaat kristiani terjadi begitu hebat. Seringkali Pater de Britto menyelamatkan dan melindungi mereka dari berbagai macam penganiayaan dan penindasan itu dengan masuk ke dalam hutan.

Di Marava pada 1683 telah ada 4000 orang katolik. Mereka ini semua ada dalam penganiayaan dan pengejaran Panglima Kumara. De Britto juga tertangkap dan mengalami penganiayaan berat ketika sedang melindungi umatnya. Akan tetapi, ketika Panglima ini mau menghukum de Britto atas kegiatannya menyebarkan iman, secara mengejutkan Raja Marava membebaskannya. Ia hanya diberi peringatan terakhir. Ia boleh tinggal di Marava, tetapi tidak boleh lagi menyebarkan imannya di sana. Kalau melanggar, ia akan dihukum mati.

Setelah dibebaskan, ia sempat kembali ke Portugal untuk melaporkan keadaan di daerah misinya. Tentu ia disambut dengan suka cita besar sebagai seorang pahlawan. Akan tetapi, hal itu malahan membuatnya sedih sebab banyak umatnya menderita selagi ia ke Portugal. Ia segera ingin menyelesaikan urusannya sebab hatinya selalu tertuju pada umat di Madurai, khususnya di Marava. Ia kembali lagi ke Madurai dan secara sembunyi-sembunyi mengunjungi umatnya. Ia mempertobatkan dan membaptis 8000 orang dan mendengarkan pengakuan dosa. Rupanya katekis yang telah dididiknya bekerja dengan sangat baik.

Teguh dalam Sikap dan Membela Kebenaran

Salah seorang putra Raja Marava, yaitu Tedayadaven, sangat tertarik dengan Pandara Swami de Britto. Ia bersedia diajar agama Katolik dan menjadi magang baptis. Akan tetapi, tiba-tiba ia sakit keras dan dengan doa de Britto penyakitnya itu sembuh. Tedayadaven memang menunjukkan minatnya untuk memeluk iman kristiani, namun ada satu halangan, ia memiliki banyak istri. Oleh de Britto ia ditantang apakah bisa setia kepada satu istri seumur hidup dan melepaskan empat istri lainnya. Tedayadaven memilih istri pertama sebagai istrinya. Rupanya salah satu istri yang diceraikan adalah kemenakan Raja Marava. Ia melapor kepada raja. Raja Marava marah atas nasib kemenakannya dan berjanji akan menghukum de Britto. Sejak itulah de Britto masuk dalam daftar orang yang dicari. Raja Marava memerintahkan untuk membakar semua gereja dan menghukum orang-orang katolik serta memerintahkan untuk menangkap de Britto.

De Britto ditangkap ketika sedang melayani pengakuan dosa. Ia ditangkap dengan kasar dan dipukuli lalu digelandang ke ibukota. Imam-imam berhala mencoba mempergunakan sihir untuk mencelakai de Britto, tetapi semua itu tidak mempan. Katanya, “Karena mantera milik de Britto lebih kuat !” Ketika de Britto akan dieksekusi, putra raja membelanya dengan gigih maka raja mengurungkan niatnya untuk mengeksekusi de Britto. Ia hanya akan dibuang ke luar kerajaan.

Tanggal 29 Januari de Britto dibawa ke Oriur. Gubernur Oriur adalah adik Raja Marava, yang lebih kejam dan bengis, namun kini ia agak buta dan lumpuh. Ia pernah mendengar mujizat de Britto maka ia meminta supaya de Britto menyembuhkannya. Akan tetapi, de Britto tidak bersedia dan mengatakan, “Hanya Tuhan yang dapat menyembuhkan engkau.” Gubernur marah dan menyuruh menghukum de Britto. Akan tetapi, istrinya membela de Britto dan tidak setuju kalau ia menghukum orang yang tidak berdosa. Akhirnya, pada tanggal 4 Februari 1693, Gubernur kota Oriur memutuskan untuk menghukum mati de Britto di tangan lima algojo. Kepalanya dipenggal, tangan dan kakinya dipenggal, serta tubuhnya diletakkan di tiang pancang sebagai makanan burung-burung liar.

De Britto telah tiada, namun semangatnya akan tetap dikenang oleh orang-orang India. Bagaimana dengan semangat kita yang menyebut diri siswa dan keluarga besar De Britto?